Searching...

Langganan Beasiswa, Anak Pemulung Raih Rp48 Juta

19:58
Meski sang ayah hanya pengepul barang rongsokan dan sang ibu tidak bekerja. Anistya Dewi Pratiwi tidak patah arang meraih cita-cita. (Foto: Marieska/Okezone)
DEPOK – Keterbatasan biaya tidak boleh menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengejar cita-cita. Semangat itu dicontohkan Anistya Dewi Pratiwi (21), mahasiswi semester VII Jurusan Sastra Jawa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). 

Dara ayu asal Surakarta, Jawa Tengah, yang lahir pada 20 April 1992 ini sudah tiga kali berturut-turut meraih beasiswa dari Yayasan Marubeni Indonesia asal Jepang. Setiap tahun, dia memperoleh beasiswa dan biaya kebutuhan hidup sebesar Rp16 juta. Jika ditotal, uang yang sudah dia raih atas prestasi itu sendiri mencapai Rp48 juta.

"Ini sebuah hal yang menakjubkan banget, keberuntungan dan keajaiban dalam hidup saya. Beasiswa ini sangat membantu," kata Anistya di Gedung Rektorat UI, Selasa (22/10/2013).

Tentu saja Anistya beruntung mendapatkan beasiswa tersebut karena prestasi akademiknya. Indeks prestasi kumulatif (IPK) terakhir yang dia peroleh yakni 3,78. Selain itu, Anistya memang berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Sang ayah hanya bekerja sebagai seorang pemulung dan pengepul barang rongsokan di Kecamatan Jebres, Surakarta. Ibunya tidak bekerja, hanya membantu ayahnya dan mengurus satu-satunya adik perempuan Anistya, yakni Vindiyana Kusuma Putri (16), siswa SMKN 8 Surakarta.

Anistya kemudian mengajukan keringanan biaya kuliah di UI lewat Biaya Operasional Pendidikan-Berkeadilan (BOPB). Dari Rp5 juta biaya kuliah per semester, dia hanya harus membayar Rp600 ribu.

"Saat ini di Depok saya ngekos, Bapak hanya kerja pemulung atau ngumpulin barang-barang bekas dari tetangga lalu dijual. Rata-rata bapak dapat uang sebulan Rp500 ribu-lah. Karena itu sejak semester II saya sudah dapat beasiswa, pertama kali dari UI," tutur putri sulung pasangan Misyanto (55) dan Maweko Ati (45) ini.

Untuk mendapatkan keringanan tersebut, kata Anistya, tentu dengan menyerahkan berbagai persyaratan, seperti surat keterangan tidak mampu, kartu peserta Jamkesmas, hingga foto rumah di kampung halamannya. Dia  mengungkap, meski di tengah kota, rumahnya masih terbuat dari gedekbambu dan berlantai semen.

"Kuliah di UI katanya mahal, enggak kok. Ini adalah universitas paling terbuka, ada biaya berkeadilangitu. Benar-benar adillah. Beasiswa yang saya dapat selama ini untuk penelitian ada di Garut dan Solo, biaya hidup selama di Depok, lalu persiapan biaya skripsi, dan biaya pulang kampung ke Surakarta. Buat bayar semesteran dan biaya makan," katanya.

Perjuangan yang dilakukan Anistya tidak hanya mengandalkan IPK dan persyaratan ekonomi, dia pun diwajibkan membuat tulisan atau esai soal Jepang setiap tiga bulan sekali. Dia pernah menulis esai bertema New Leader of Japan, menceritakan tentang kepemimpinan di Jepang. 

Minimnya kondisi keluarga tidak membuat Anistya merasa rendah diri, dia justru bangga dengan prestasi yang diraihnya. "Buat apa, karena pendidikan di UI enggak dibeda-bedakan, kok," ungkapnya.

Gadis yang bercita-cita ingin menjadi filolog atau pekerja naskah ini mengaku sempat hanya dikirimkan uang biaya hidup sebesar Rp300 ribu pada semester I saat dia belum mendapatkan beasiswa. Uang itu dipakai untuk sewa asrama UI Rp200 ribu, sisanya Rp100 ribu harus cukup buat makan sebulan. Bahkan, ingat dia, karena tak cukup biaya, dirinya pernah hanya makan satu bungkus mi instan, itu pun dibagi dua untuk pagi dan sore.

"Saya memang ingin jadi filolog. Sayang naskah-naskah kuno dengan aksara Jawa milik kita justru dibawa ke Belanda. Ilmu-ilmu kita malah diteliti Belanda. Saya ingin memajukan dan menghidupkan kembali budaya Jawa yang kini semakin luntur," tuturnya. 

0 komentar:

Post a Comment

Mohon Saran dan Komentarnya